Perihal Pena - Gundah

Gundah

Aku tidak tau harus bertanya kepada siapa. Perihal gundah yang kian menerpa, apa kau bisa mencernanya? Ah, rasanya tidak. Kau tidak akan merasakan kegundahan ini, meski suara hati berulang kali berbisik dengan fasih. Nyatanya, telingamu cukup sirik dengan suaraku yang seperti jangkrik. 

Aku diam. Menatap rembulan berharap ia bisa mengantarkan perihal kegundahan yang kurasakan. Meraung pada bintang berharap ia dapat mencerahkan hati yang sedang dilanda gundah ini. Aku resah pada semesta yang membiarkan ku sendiri melawan gelisah.

Fiuhh.. Aku harus bisa. Kegundahan ini berhasil menantang keberanian ku. Dan kau siap berperang dengan apa yang dilontarkan. Satu dua patah kata, mungkin sudah cukup melegakan. 

Tunggu, lalu aku harus memulainya dari mana? Dari awal bertemu atau sekadar bertamu di waktu tanpa wacana itu? Ah, ku katakan saja langsung pada intinya. Tak perlu berlama-lama, karena ada rasa tidak siap menerima.

Waktu sudah menunggu janjiku. Menyatakan kegundahan yang semakin ngilu sepanjang pertemuan itu, aku berusaha mengontrol degub jantungku yang serasa ingin kabur dari tempatnya, lalu bersembunyi di balik badanku seperti halnya anak kecil yang malu-malu. Ah, tak mungkin jantung bisa kabur seperti itu. Sepertinya, otakku terlalu kenyang mencerna buku fiksi kemarin malam. 

Ya, inilah saatnya dan aku mengatakannya. Hanya sederhana. Sedikit penambahan frasa yang menjadikannya cukup sempurna. Terdiri dari tiga patah kata yang ku susun demikian lamanya. Hingga bibir ku terlalu kelu untuk sekedar mengeluarkan suara.

"Aku ada rasa." 

Tik! Bola matanya berhasil menangkap retinaku. Tepat di detik ketiga setelah aku melontarkan ganjalan hatiku. Aku mematung, dia pun sama. Hanya diam yang menyelimuti kita.

Di menit ketiga, sebuah suara berhasil menerbangkan hatiku ke ujung dunia. Jantung ku saja seakan terhipnotis oleh suara yang begitu lirih namun sangat jelas tertangkap di telingaku. 

"Sama"

Satu kata itu membuatku terbang layaknya putri Jasmine bersama Aladin yang siap dengan karpet ajaibnya.

Tapi, tunggu dulu. Ia bersuara lagi. Hatiku yang semula jauh, lalu jatuh tepat di tempatnya semula. Jantung ku lagi-lagi berdetak kaget.

"Tapi tidak bisa"

Ah, aku ingin terjun ke jurang saat itu juga. Tapi kenapa? Ia bilang ia juga merasakannya. Kenapa malah suara kedua itu mengkhianati nya?

"Karena rasaku bukan sepenuhnya milikmu. Ada seseorang yang lebih dulu merasakan kegundahan itu. Dan rasaku padamu takkan membuatku berpindah, hanya karena sekedar rasa yang masih lemah"



-Wnd


Comments

Popular posts from this blog

Cerpen - Dibawah Naungan Ilusi

Perihal Pena - Pertemuan

Cerpen Millenial - Pesan Terakhir Kakek