Cepen Bertema Sosial - Arti Dibalik Sebuah Empati


ARTI DI BALIK SEBUAH EMPATI
        Seharian penuh mentari menyinari bumi pertiwi. Kini ia telah kembali ke peraduannya, bercumbu dengan belahan bumi lainnya. Sinarnya memancar ke sela-sela awan sore yang tampak menghiasi langit senja, dan kini telah hilang ditelan oleh hilangnya selimut malam yang kelam. Disambut dengan mega merah yang hilang dari pandangan, bersama teriakan jangkrik yang bersahut sahutan, berusaha tuk memecah kesunyian malam.
            Disinilah aku sekarang. Duduk termenung sambil memandang indahnya rembulan. Entah apa yang terpikir dalam otakku. Rasanya, aku tak rela berpisah jauh dari ayahku. Tapi apalah daya, menangis pun tak ada artinya. Semua itu percuma, karna Tuhan pasti telah mengaturnya. Tiba tiba, seseorang memelukku dari belakang berusaha tuk menenangkan dan memberiku kekuatan. Seketika tangis air mataku yang susah payah kutahan, kini mulai pecah di dalam pelukan hangat ayahku.
            “Tenang nak, ayah hanya pergi sebentar. Kau tak perlu khawatir, ayah bisa jaga diri,” ujar ayah sambil berusaha menenangkan diriku dan mengelus rambutku dengan lembut.
            “Tapi ayah, firasat Ghea tidak enak. Ghea takut akan terjadi sesuatu sama ayah. Ghea mohon yah, ayah jangan pergi untuk kali ini,” pintaku seraya memohon pada ayah.
            “Tak bisa nak, ayah harus menjalani tugas ini. Di luar sana masih banyak orang yang membutuhkan pertolongan ayah. Maka dari itu, jasa seorang relawan itu sangat penting nak, ayah harap kamu bisa mengerti akan hal itu,” ujar ayah.
            Aku hanya mengangguk pelan. Berusaha untuk mengerti kondisi ayah saat ini. Ayah benar, aku tidak boleh egois seperti ini. Aku harus belajar mengerti keadaan orang lain juga.
            “Ingat pesan ayah nak, jaga dirimu dengan baik selama ayah pergi. Jangan egois, belajarlah untuk bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Jangan pernah jadi orang sombong, karena semua yang kita miliki hanyalah titipan semata. Selalu pertahankan etika dan perilaku terpujimu. Dan pergunakan semua itu untuk hal kebaikan. Ingat nak, akan slalu ada balasan yang lebih baik saat kita melakukan kebaikan,” pesan Ayah kepadaku.
            Esok harinya...
            Sang surya mulai menampakkan dirinya di ufuk timur. Disambut dengan kicauan burung dan diiringi derai angin sejuk yang berhembus kencang. Pagi ini, aku, ayah dan bunda pergi ke bandara untuk melaksanakan keberangkatan ayahku ke Sulawesi Tengah. Dengan berat hati aku mencoba untuk merelakan kepergian ayahku. Delapan bulan, bukanlah waktu yang sebentar bagiku. Tapi, semua itu sudah keputusan. Aku hanya bisa pasrah menerima semuanya. Namun, ada sesuatu hal yang membuatku janggal akan kepergian ayahku. Entah mengapa, ada sesuatu yang berbeda. Tapi, aku berusaha mencoba untuk berpikir positif dan terus berdoa.
            Kutatap jendela mobil di sampingku. Tampak manusia-manusia yang sibuk berlalu lalang dengan semua urusannya. Tak lupa dengan gedung-gedung pencakar langit yang terlihat megah dan mewah. Keramaian dan kebisingan pun ikut menghiasi kota metropolitan ini. Ya, beginilah potret perkotaan. Cukup ramai dan padat. Tak lama, kami pun sampai di salah satu bandara yang ada di Jakarta, yaitu bandara Internasional Soekarno-Hatta. Kami pun bergegas turun dari mobil, serta membawa barang-barang keperluan ayah. Mulai dari pakaian, obat-obatan, masker, hand sanitizer, sarung tangan, sepatu boot, hingga drybag. Semuanya lengkap tanpa terkecuali. Setelah itu, ayah langsung bergegas masuk kedalam pesawat bersama anggota lainnya dikarenakan pesawat segera meluncur. Sebelum itu, ayah memelukku sejenak seraya membisikkan sesuatu di telingaku.
            “Ingat selalu pesan ayah ya nak, tanamkan nilai attitude-mu, dan amalkan sikap empati yang selalu ayah ajarkan kepadamu. Jangan membuat ayah dan bunda kecewa dengan perilakumu,” ujar ayah seraya melepaskan pelukanku dan mencium keningku dengan lembut. Aku dan bunda melambaikan tangan seraya menatap kepergian ayah. Setelah itu, aku dan bunda kembali pulang ke rumah untuk menjalani rutinitas seperti biasanya.
            Empat bulan kemudian...
            Tepat pada hari Jumat  (28/9/2018) pukul 17.02 WIB Gempa bumi dan tsunami mengguncang kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Kota dimana ayahku ditugaskan pada empat bulan yang lalu. Bak petir menggelegar, gempa sebesar 7,4 skala ritcher mengguncang dahsyat kota Palu dan Donggala. Kedatangannya sungguh tidak terduga, mengubah semuanya, memporak-porandakan seluruh kota yang dilewatinya, menyisahkan reruntuhan bangunan yang entah kapan akan kembali seperti semula. Ratusan, bahkan ribuan jasad manusia memenuhi kota tanah kelahiran mereka. Puluhan orang yang menggotong keranda kematian, saling silang untuk mengganti sudut pemikul keranda. Wajah para korban penuh pucat, bercucuran darah, sekaligus lemah tak berdaya. Hanya tangisan dan rintihan kesakitan yang menggema. Tetesan air mata dari sejuta pasang mata terus mengalir tak terbendung lagi.
            Setelah mengetahui hal itu, aku dan bunda nekat menjemput ayah ke Sulawesi, dikarenakan ayah yang tak dapat dihubungi berkali-kali. Aku tak henti-hentinya menangis dan terus berdoa. Sedangkan bunda sempat pingsan karena syok mendegar berita tersebut. Aku tak pernah menyangka bahwa semuanya datang dan begitu cepat bagaikan kilatan petir di langit yang menghitam.
Sesampainya disana, aku dan bunda terus mencari informasi tentang keberadaan ayah. Mengelilingi seluruh penjuru kota Palu dan berusaha menghubungi nomor handphone ayah. Tapi semua sia sia, karna ayah belum juga ditemukan. Sungguh, aku sangat cemas dan hampir putus asa. Sudah sepuluh jam aku dan bunda berkeliling, namun ayah tak kunjung ditemukan.
Hari semakin larut, dan aku dan bunda pun memutuskan untuk menginap di salah satu posko pengungsian korban gempa. Tampak begitu mirisnya para korban disini. Begitu menderita dan penuh duka. Pesan ayah waktu itu terus menghantuiku. Ingin rasanya aku mengembalikan kebahagiaan mereka seperti semula. Tapi aku tak tau bagaimana caranya. Awalnya aku ragu, namun lama kelamaan aku mulai mengembalikan kebahagiaan mereka dengan cara menghibur dan meluapkan semua penderitaan mereka. Mulai dari mengajak anak-anak pengungsian untuk bernyanyi bersama, bertukar cerita, hingga bercanda tawa bersama. Tak lupa, aku dan bunda mengirimkan beberapa sumbangan berupa makanan, pakaian, mainan dan obat-obatan yang jumlahnya cukup banyak. Kegiatan itu terus kami lakukan sambil menuggu kabar tentang ayah. Lama kelamaan, aku mulai mengerti arti dari sebuah empati. Disini aku bisa belajar untuk menghargai, berbagi kebahagiaan, dan ikut merasakan penderitaan seseorang. Dengan sebuah kebaikan dapat mengembalikan seluruh kebahagiaan.
Tak terasa, dua minggu telah terlewati. Namun, tak ada satupun kabar tentang ayah. Aku begitu cemas. Aku terus berusaha meminta petunjuk kepada Tuhan agar ayahku segera ditemukan. Karna ayah tak kunjung ditemukan, akhirnya aku dan bunda pun memutuskan untuk nekat mencari ayah sendirian. Di tengah perjalanan, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara di belakangku. Suara yang begitu amat kukenali.
“GHEAA!!! BUNDAA!!!”, teriak ayah yang tampak berlari menghampiriku dan bunda.
“AYAHHH..!!,” teriakku seraya berlari dan memeluk ayah.
“Kalian kenapa bisa berada disini?,” tanya ayah kepada aku dan bunda.
“Ghea rindu ayah. Ghea khawatir sama ayah akibat gempa yang menimpa kota ini ayah. Ghea takut kehilangan ayah untuk selama-lamanya.. Ghea takut ayah meninggalkan kamii...,” ujarku sambil terus memeluk erat ayah dan bunda. Suara isak tangisku pun tak dapat kubendung lagi. Aku meluapkan seluruh rasa kerinduanku pada ayah. Aku tenang sekaligus lega bisa bertemu ayah dengan kondisi yang baik baik saja sekarang ini.
“Enggak nak, ayah akan selalu bersama kalian. Ayah tidak mungkin meninggalkan kalian. Ayah akan menjaga Ghea dan Bunda dengan baik,” ujar ayah menenangkan.
Setelah kejadian tersebut, aku mulai mengerti arti sebuah kebaikan. Bahwa kebaikan, akan selalu membawa kabahagiaan. Begitupula dengan empati. Bahwa dengan sebuah empati, mampu meringankan seluruh penderitaan mereka yang sedang dipenuhi rasa duka.
           
             
 -Wnd

Comments

Popular posts from this blog

Cerpen - Dibawah Naungan Ilusi

Perihal Pena - Pertemuan

Cerpen Millenial - Pesan Terakhir Kakek