Cerpen Bertema Kebudayaan dan Kearifan Lokal - Simfoni Kehidupan di Pulau Kecilku

SIMFONI KEHIDUPAN DI PULAU KECILKU

Matahari mulai menampakkan dirinya diufuk timur. Disambut kicauan burung yang bernyanyi-nyayi, mengalunkan sebuah melodi. Seolah-olah memuji kebesaran Ilahi yang telah menciptakan kemegahan alam semesta ini. Diiringi dengan semilir angin pantai yang kian berhembus dari arah laut ke sisi daratan. Seakan-akan mengembalikan seluruh raga dalam balutan kebahagiaan. Deburan ombak yang tenang bergulung pelan ke tepian, menyapu jemari kaki yang datang beserta pasir halus berwarna putih kemerahan.   
Hilir mudik kerumunan masyarakat bercerai-berai di sisi mulut pantai. Para nelayan saling bergotong-royong menurunkan hasil tangkapannya. Canda tawa terdengar dari kerumunan anak-anak kecil sembari melepas senyum gembira, seraya berlari kesana kemari menikmati keindahan tanah kelahiran mereka. Dari kejauhan, terlihat para gadis yang disibukkan oleh tariannya, sedangkan para pemuda nampak serius dengan tradisi adat mereka, yaitu Sile’ Kampoh atau yang disebut Silat Kampung. Sedangkan para nenek nampak gembira sembari menenun dengan sangat cekatannya. Tampak pula ibu-ibu yang tengah menjemur ikan sembari bersenda gurau melihat tingkah lucu anak-anak mereka. Inilah potret keadaan di pulau kecilku. Pulau yang diapit oleh Pulau Timor dan Pulau Semau yang berhadapan langsung dengan kota Kupang.
Hampir setengah jam aku menunggu kedatangan Adjeng, sahabatku yang berada di luar kota. Beberapa minggu yang lalu, ia janji akan mengunjungi kampung halamanku sekaligus mencari pengalamn baru. Aku pun memutuskan untuk menunggunya di seberang pantai. Tiba-tiba terdengar suara di belakangku. Suara yang amat kukenali.
“Tere!!,” ujarnya sambil berlari kearahku dengan kamera yang selalu menggantung dilehernya seraya memelukku erat.
“Wahh, pulau ini bagus bangett. Gak sia-sia aku datang kesini,” ujarku pada Tere.
“Ya, beginilah suasana di pulauku, djeng. Pulau yang begitu alami dengan masyarakatnya yang senantiasa damai dan menjaga kerukunan antarsesamanya. Bukan hanya itu, tradisi suku Bajo yang senantiasa dilestarikan secara turun-temurun sejak nenek moyangku ada hingga dimasa modern seperti sekarang ini. Sungguh, pulauku ini layaknya suatu nirwana yang indah sampai kapanpun,” kataku sembari menatap lurus ke arah pantai diiringi hembusan angin sepoi-sepoi.
“Iya, kamu benar sekali. Aku begitu bahagia bertemu dengan masyarakat disini. Mereka terlihat sangat ramah menyambut kedatanganku kemari,”
“Lho, kamu sendirian?,”
“Enggak, aku kesini bersama---, Lho Sheryl!! Sheryl dimana?!,” ujar Adjeng yang nampak kebingungan.
“Sheryl? Siapa dia?,” Aku mengerutkan kening karena bingung tak tahu siapa yang dimaksud Adjeng.
“Dia itu sepupuku dari Jakarta. Nah, itu dia,” Adjeng tampak lega melihat Sheryl yang berjalan gontai sambil menenteng sneakers putihnya.
“Duhh,, kamu jalannya cepet banget sih, djeng! Udah disini panas, gerah, bau, beda banget sama di kota!,” keluh Sheryl sambil mengibas-ibaskan tangannya. Jujur, pertama kali aku melihat Sheryl, aku begitu terpesona. Dia itu cantik menurutku. Namun aku heran mengapa sifatnya tidak secantik rupanya.  
 “Hush! Kamu gak boleh ngomong gitu. Lagipula ini kan pantai, ya bedalah sama kota yang padat dan bising. Kalau disini lebih tenang, sejuk, bersih, semua terlihat masih alami dan belum ternodai,” Adjeng berusaha menasehati Sheryl yang masih terlihat kesal.
“Ya sudah, jangan bertengkar terus. Yuk aku ajak kalian menelusuri pulau ini. Pokoknya aku janji, aku akan memberikan suatu pengalaman berharga untuk kalian selama berada disini,” Kami pun berjalan berdampingan sambil sesekali memotret beberapa kegiatan masyarakat yang kami temui. Mulai dari anak-anak yang bermain congkak, para gadis yang tengah menari, hingga para warga yang bergotong-royong mendirikan sebuah rumah gubuk. Sedangkan Sheryl, ia terlihat sibuk ber-selfi ria guna mengunggah statusnya di sosial media.
“Oh iya, apa nama pulau ini? Kau tak pernah memberitahuku sebelumnya,”
“Ohh.. pulau ini namanya Pulau Kera. Namun, bukan berarti disini terdapat banyak kera. Jadi, nama kera itu berasal dari kata Takera yang dalam bahasa Solor artinya ember/timba. Namun, sebagian ada yang menyebut nama Kera berasal dari kata Kea dalam bahasa Rote yang artinya penyu. Karena pengucapan lafalnya saja, sehingga namanya berubah menjadi Pulau Kera,” jelasku panjang lebar.
“Oh, unik ya. Pasti kau sangat senang tinggal di pulau yang indah ini,” ujar Adjeng yang membuatku nampak murung.
“Tapi sayangnya, meskipun Pulau ini dihuni oleh ratusan orang, namun kami tidak dianggap oleh Pemerintah Kabupaten Kupang sebagai warganya. Ini dikarenakan sebagian besar warga di Pulau Kera tidak memiliki KTP. Oleh sebab itulah, Pemkab Kupang tidak membangun fasilitas disini. Hanya terdapat gubuk sebagai tempat tinggal, sebuah masjid dan sebuah sekolah. Pendidikan yang diperoleh pun hanya pendidikan agama Islam. Dan juga, tidak ada sumber air tawar disini, semuanya berasal dari sumber air payau. Listrik di pulau ini pun masih berasal dari genset yang hanya menyala pada malam hari saja. Begitu miris keadaan di pulauku ini, djeng. Maka dari itu, beruntunglah kalian tinggal kota yang semua serba ada,” Aku menumpahkan segala kesedihanku yang telah lama kupendam.
“Ya iyalah, di kota itu semua serba modern, canggih, fasilitas lengkap, pendidikannya maju, nggak kayak disini. Adanya cuman gubuk yang jelek dan bau,” ujar Sheryl dengan sangat angkuh.
“Sheryl STOP!! Jaga ucapanmu! Kamu gak boleh ngomong seperti itu! Kita semua ini sama. Sama-sama generasi muda yang lahir di tanah Indonesia. Seharusnya kamu itu bisa mengahrgai perbedaan. Lagipula, ini semua ciptaan Tuhan yang wajib kita syukuri. Sekali lagi kamu menghina, aku gak akan segan-segan untuk tinggalin kamu sendirian disini. Minta maaf sekarang juga!!,” bentak Adjeng dengan penuh amarah.
“Yayaya,, Aku minta maaf ya Teri.. Eh Tere maksudku,” ujar Sheryl dengan tampang tak berdosa sama sekali.
 “Maafin sikap sepupuku ya, re. Maklum, dia orangnya memang seperti itu. Jangan dimasukkan ke hati ya,”
“Iya gak papa, aku udah maafin kok,”   
“Oh iya, jadi masyarakat disini ternyata mayoritas beragama islam, ya re?,”
“Tidak, hanya sebagian besar saja. Sebagian lainnya beragama Kristen Katholik yang datang dari Manggarai, Pulau Flores, juga beragama Kristen Protestan yang merupakan penduduk yang datang dari Pulau Rote. Oleh sebab itu, masyarakat di pulau kami berpegang teguh kepada rasa persaudaraan dan solidaritas perbedaan. Sayangnya, orang-orang diluar sana tak ada yang kasihan dengan keadaan kami. Apalagi, hanya beberapa orang yang tahu akan keberadaan pulau ini. Menjadikan pulau ini bagaikan surga tersembunyi,” jelasku dengan tampang lesu.
“Kamu yang sabar ya, re. Kalau boleh, mungkin aku bisa mencari solusi untuk masalahmu,”
“Bagaimana caranya?,”
“Kita adakan festival pengenalan budaya. Yang nantinya, acara ini akan memprioritaskan berbagai bentuk kesenian, makanan khas, permainan rakyat, tarian tradisonal, dan juga  berbagai alat kesenian tadisional yang ada disini, dan yang pasti semua tidak akan lari dari unsur suku Bajo. Bagaimana, apa kamu setuju?,” Adjeng berusaha meminta pendapatku.
“Lalu, bagaimana dengan dananya? Pasti dana yang dibutuhkan tidak sedikit,” tanyaku dengan nada yang tak bersemangat.
Sungguh, jika berbicara mengenai dana, aku tak sanggup. Kepedulian pemerintah sangatlah minim terhadap pulauku, yang sampai saat ini sulit diatasi. Belum lagi, kesejahteraan masyarakat di desaku hanya mengandalkan hasil tangkapan mereka yang hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Inilah yang menyebabkan mengapa banyak sekali anak-anak didesaku, yang hanya berakhir pada jenjang SD, bahkan ada pula yang tak pernah bersekolah dikarenakan biaya yang tidak mencukupi. Dan aku adalah salah satu dari sekian banyak anak-anak disini yang dapat melanjutkan belajar hingga ke jenjang perguruan tinggi di Kota Kupang. Maka dari itu, aku harus mewujudkan mimpi para rakyat untuk menjadikan pulauku ini maju dan dapat dikenal oleh masyarkat luar.
“Oke, kamu tak perlu khawatir. Untuk urusan dana, aku yang mengurusnya. Sekarang, kita tinggal meminta persetujuan kepala desa dan mempersiapkan beberapa keperluan dalam acara tersebut,” ujar Adjeng setelah berfikir cukup lama.
“Siap bos!,” Aku mengacungkan jempol sebagai apresiasi atas ide brilliantnya.
“Eh, tungguu!!,” ujar Sheryl yang berlari dengan napas terengah-engah. Ternyata, aku lupa bahwa Sheryl tak bersama kami sejak tadi.
“Kamu dari mana saja?,” tanya Adjeng yang terlihat khawatir.
“Aku tadi nyasar sampai ke ujung pulau. Aku bingung dan takut banget tadi. Tapi untungnya, aku ditolong sama salah satu warga disini. Kalau enggak, aku gak tahu akan seperti apa nantinya,”
“Makanya, jangan suka menghina orang. Akhirnya kena sendiri, kan,”
“Iya, sekarang aku sadar. Ternyata, aku salah mengartikan pulau ini. Warga disini tak seburuk dengan apa yang kukira. Mereka sangat baik dan ramah. Sekali lagi, maafin aku ya Tere. Mungkin ucapanku tadi membuatmu sakit hati,” Sheryl berkata dengan perasaan bersalah.
“Tenang aja, udah aku maafin kok,” Ujarku yang dibalas anggukan pelan olehnya.
Waktu berlalu tanpa terasa, semua rencana kami berjalan mulus tanpa hambatan. Tepat ada tanggal 1 April, acara “Festival Pengenalan Budaya dari Pulau Kera” dilaksanakan. 
Disinilah aku sekarang, duduk sambil menikmati indahnya senja di tepi pantai. Semburat mentari terbias rapi di angkasa. Bercampur dengan gumpalan mega bergradasi jingga. Semilir angin menerpa wajah, disambut hamparan ombak yang kian menepi, berpacu layaknya kuda-kuda pelari. Dedaunan kelapa menari-nari dari sisi kanan ke kiri, manyambut indahnya hari ini.
Aku segera bangkit dari dudukku, beranjak pergi meninggalkan pantai. Sejenak aku menghentikan langkah, ketika tak sengaja mengintip beberapa penari yang sibuk dengan latihan mereka untuk persiapan festival pengenalan budaya yang berlangsung satu jam lagi. Hal itu membuat kedua sudut bibirku terangkat membentuk seulas senyum. Rasa bangga timbul dalam benakku. Inilah yang dinamakan wujud cinta akan budaya. Generasi muda yang melestarikan keragaman budaya daerahnya, lengkap dengan peragaan yang nyata.
Kini, rembulan hadir warnai dunia. Gemerlap bintang pun ikut serta menemaninya. Ditambah dengan hembusan angin dari arah pantai terasa menenangkan jiwa, membuat siapa saja rindu akan kehadirannya.
Tinggal beberapa menit lagi, festival pengenalan budaya mulai dibuka. Hamparan pasir putih yang tadinya kosong, kini telah terisi oleh sebuah panggung yang berdiri kokoh lengkap dengan dekorasi berdominan budaya. Seluruh wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal ikut meramaikan festival. Tak hanya itu, para pejabat dan tamu undangan juga hadir untuk mensukseskan acara ini.
Acara pun dibuka, satu per satu peserta telah menunjukkan penampilannya dengan sangat baik. Mulai dari tari Manca, Sile’ Kampoh, permainan tradisonal dan kesenian lainnya. Tak hanya itu, kami juga mengundang beberapa penari dari berbagai daerah untuk menampilkan tariannya disini. Mulai dari tari Saman, tari Remo, tari Kecak, tari Janger, dan lain sebagainya. Diiringi alunan musik yang bersatu padu dengan gemulai gerakan sang penari. Disambut sorak-sorai dan riuh tepuk tangan dari para penonton yang menggema di sekitar panggung. Suasana kebahagiaan dan keceriaan ikut menyelimuti acara festival ini. Acara ditutup oleh lagu Indonesia Raya dan lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang dinyanyikan bersama oleh seluruh penonton dengan suka cita dan penuh rasa haru. Hari ini adalah hari yang paling bersejarah bagiku. Dan hari inilah yang menjadi saksi bisu betapa bangganya aku dilahirkan di Indonesia yang dikelilingi oleh ribuan suku dan budaya didalamnya.
Kini, impian kami dapat terwujud. Pemkab Kupang pun telah berdamai dengan kami. Mulai saat ini tak ada lagi perselisihan dalam perbedaan. Pulauku juga semakin ramai akan wisatawan dan dapat dikenal banyak orang. Setiap hari, banyak pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia yang berbondong-bondong untuk melihat keindahan pulau ini maupun untuk sekedar melihat tradisi kami. Fasilitas-fasilitas pun telah dibangun disini. Semua lengkap tanpa terkecuali. Listrik pun telah disediakan. Banyak sekolah yang telah didirikan, dan anak-anak pun mendapat pendidikan yang layak.
Aku sangat bersyukur dapat hidup ditengah-tengah pulau yang masyarakatnya masih memegang teguh nilai solidaritasnya sejak dulu, dan masih kental akan budayanya yang tak pernah luntur. Bagiku, pulau ini adalah surga dunia dalam balutan pesona budaya. Inilah kisah dari pulau kecilku. Pulau yang banyak menyimpan Simfoni yang begitu indah dan penuh makna kehidupan di dalamnya.

 -Wnd





Comments

Popular posts from this blog

Cerpen - Dibawah Naungan Ilusi

Perihal Pena - Pertemuan

Cerpen Millenial - Pesan Terakhir Kakek