Cerpen - Dibawah Naungan Ilusi


DIBAWAH NAUNGAN ILUSI
          Kubuka mataku perlahan. Yang pertama kali kulihat hanyalah kegelapan. Tak ada setitik cahaya pun yang terlihat. Kuedarkan pandanganku ke setiap penjuru, berusaha mengingat kejadian apa yang membuatku bisa berada disini. Namun semua usahaku gagal. Aku tak bisa mengingat apapun. Rasanya, ingatanku sudah mati. Lalu, ku raba benda apapun disekelilingku, yang kudapati hanyalah rumput kecil dan sebuah pohon yang menjadi tempat sandaranku. Jadi, bisa didefinisikan bahwa aku sedang berada dihutan. Dan yang pasti, aku sendirian disini.
            Aku mencoba untuk berdiri, namun rasanya sekujur tubuhku remuk dan sangat sakit. Aku meringis kesakitan, setelah mendapati tetesan darah di dahiku. Rasanya aku ingin menangis, aku kesakitan, aku sangat takut, semua bercampur menjadi satu. Aku tak tau harus berbuat apa. Tiba-tiba, kudapati sebuah cahaya dari kejauhan. Dan kuyakini itu adalah cahaya senter. Semakin lama, cahaya itu semakin dekat. Aku pun berusaha meminta tolong kepada orang yang membawa senter itu. Karna ia adalah satu-satunya kesempatanku untuk bertahan hidup. Namun aku begitu sulit mengeluarkan suara, rasanya begitu berat dan sangat sakit. Tiba-tiba, sang pembawa senter pun berteriak dari kejauhan.
“Heii, siapa disana!!,” teriaknya sambil berlari mengahampiriku yang sudah tak berdaya ini. Setelah tiba didekatku ia langsung memandangiku. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, dikarenakan silau senter yang menerpa wajahku. Yang pasti, dia adalah seorang lelaki.
“To..to..longg...,” ujarku dengan sisa-sisa suaraku. Lalu, sekujur tubuhku lemas dan akupun tak sadarkan diri.
 Sepercik cahaya menembus mataku, membuatku tersadar dari tidurku. Aku mengerjapkan mata, berusaha untuk melihat tempat dimana aku berada. Setelah mataku terbuka sempurna, yang pertama kali kulihat adalah seorang nenek yang duduk disampingku sambil menatapku dengan tersenyum. Beliau lalu membantuku untuk duduk, dan menyodorkan segelas teh hangat kepadaku.
“Namamu siapa, nak?,” tanya nenek itu setelah aku meneguk segelas teh hangat pemberiannya. Aku hanya menggeleng pelan, karna aku memang tak mengingat apapun.
“Saya Suminah. Panggil saja nek Inah. Nenek disini hanya tinggal berdua bersama cucu nenek yang bernama Ricko. Dialah yang menemukan dan menyelamatkanmu disaat kamu pingsan tadi. Memangnya, untuk apa kamu pergi ke hutan ini sendirian? Dan dimana keluargamu?,” tanya nenek dengan wajah prihatin.
“Saya nggak tau nek, saya tak ingat apapun. Tiba-tiba saya sadar dan tau-tau sudah berada di hutan yang gelap  dan sendirian. Disaat yang sama, saya merasakan sekujur tubuh saya sakit dan lemas. Suara saya habis dan dahi saya terluka. Lalu datang seorang lelaki yang menyelamatkan saya dan saya pun tak sadarkan diri,” ceritaku pada nenek panjang lebar. Nenek yang menatapku hanya terlihat mangut-mangut.
“Ya sudah, kalau begitu istirahatlah. Nenek akan ambilkan kamu makanan. Pasti kau lapar,” ujar Nenek sambil beranjak meninggalkanku. Tak lama, datang seorang lelaki yang kutau seumuran denganku dan kuyakini itu adalah Ricko, cucu nek Inah. Ia datang sambil membawa makanan lengkap dengan segelas air di tangannya. Membuatku semakin tergiur untuk segera melahapnya.
“Nih, makanlah supaya tubuhmu tak lemas,” ujarnya sambil menyodorkan makanan kepadaku. Aku mengangguk pelan dan mengambil makanan pemberiannya. Aku pun segera melahap makanan itu, dikarenakan cacing di dalam perutku ini sudah sangat kelaparan.
“Oh iya, nanti kalo udah makan, boleh nggak kalo kita jalan-jalan sebentar? Yeah,, agar kamu nggak trauma sama kejadian tadi,” ujar Ricko menawarkan kepadaku.
“Boleh” jawabku singkat.
Setelah menghabiskan makananku, aku beranjak mengikuti Ricko yang berada didepanku. Entah berapa lama kami masih saling diam dan terus berjalan. Hening. Tak ada obrolan apapun diantara kami. Aku pun canggung untuk memulai percakapan. Namun, sejenak aku merasa bosan dan jenuh. Tiba-tiba, Ricko berhenti. Aku pun menatapnya bingung, dan menghampirinya.
“Kenapa kau berhenti? Apa kita salah arah?,” tanyaku pada Ricko.
“Bukan, kita tidak salah arah. Namun, sepertinya perjalanan kita sudah melewati batas,” ujarnya. Aku berusaha mencerna kalimat yang dilontarkannya. Aku tak paham apa maksudnya.
“Maksudmu?,” tanyaku.
“Kita telah melewati batas kawasan hutan terlarang,”
 “Ha? Sebentar, aku nggak ngerti apa maksudmu,”
“Maksudku, kita nggak akan bisa keluar dari hutan terlarang ini. Hutan ini adalah hutan terlarang yang dihuni oleh para serigala. Dan siapapun yang memasuki hutan ini, dia gak akan bisa keluar untuk selama-lamanya. Satu hal yang harus kau tau, meskipun hutan ini dihuni oleh para serigala, namun tak seorangpun yang bisa menyentuhnya. Karna, di hutan ini memiliki sejuta ilusi,” jelasnya panjang lebar.
“Lalu, kita harus bagaimana?,” tanyaku. Aku mengedarkan pandanganku ke setiap penjuru hutan ini. Namun, semuanya terlihat biasa saja. Semua tampak sama seperti hutan yang sebelumnya kami lewati.
“Ricko, lau bagaimana sekarang?,”  tanyaku. Karna tak kunjung mendapat balasan dari Ricko, aku pun menoleh ke arah Ricko, namun aku terkejut karna tak mendapati Ricko disampingku. Alhasil, aku sendirian dan Ricko secara tiba-tiba menghilang entah kemana. Aku pun berusaha mencari Ricko sekuat tenaga.
“RICKO!!! Kamu dimana? Jangan tinggalin akuu!!,” teriakku yang begitu cemas dan takut. Namun sejenak aku berpikir kalau Ricko sengaja meninggalkanku. Apa ia memang sengaja ingin menyingkirkanku? Apa ia sengaja membawaku jalan-jalan dan membawaku ke hutan terlarang ini agar aku tersesat? Apa ia melakukan ini semua karna ia tak menginginkanku tinggal dirumahnya? Namun, bukankah ia adalah pria yang baik? Kalau begitu, untuk apa ia menolongku? Aku pun sangat frustasi. Aku takut, aku bingung. Sejuta tanda tanya merutuki otakku. Ya Tuhan, kenapa nasibku seburuk ini.
Akhirnya, aku memutuskan untuk terus berjalan. Anehnya, disini terlihat seperti siang hari. Padahal, aku berangkat sejak sore. Tiba-tiba, kulihat seekor kucing lucu yang berkeliaran, dilanjutkan dengan kelinci yang memanjat pohon, burung yang berjalan, hingga kelelawar yang berterbangan di siang hari. Semuanya terlihat sangat aneh. Benar kata Ricko, hutan ini memiliki sejuta ilusi.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Seketika aku terkejut dan menoleh. Terlihat seorang peri cantik berjubah hitam dengan tubuh dua kali lipat dariku itu sedang  menatapku sambil tersenyum. Ya Tuhan, siapa lagi ini? Gerutuku dalam hati. Lalu ia mulai mendekatiku, namun aku berusaha menghindar dengan sesekali melangkah mundur.
“Hei, jangan takut wahai gadis kecil. Aku hanya ingin sedikit berkenalan denganmu,” ujarnya sambil merangkul pundakku.
“Namamu siapa?,” tanyanya padaku.
Aku hanya diam tak bergeming. Melihatku diam, ia kembali melanjutkan pembicaraanya.
“Ehm, oke. Perkenalkan, aku Laurinee Roshlyn. Aku adalah peri yang paling cantik dihutan ini. Kalau begitu, mari ikutlah denganku. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang saaangat indah. Dan tak satupun ada manusia yang pernah mengunjunginya selain dirimu,” ajaknya seraya menggandeng tanganku. Aku hanya diam, walaupun sebenarnya aku ingin bertanya banyak hal padanya, namun aku takut jikalau ia marah atau tersinggung akan perkataanku. Sejenak aku bingung, jikalau hutan ini adalah hutan terlarang, tapi mengapa hutan ini tak terlihat menyeramkan? Menurutku ini biasa saja, bahkan hutan ini layaknya di negri dongeng. Ah, pasti Ricko membohongiku. Katanya, hutan ini dihuni oleh para serigala, namun kenyataannya tak ada serigala satupun disini.
            Setelah melakukan perjalanan yang cukup lama, akhirnya kami sampai di tempat yang ditunjukkan oleh si Peri Roshlyn itu. Benar ucapannya, tempat ini layaknya surga dunia. Benar-benar sangat indah. Tempat yang didominasi dengan derasan air terjun disertai bunga-bunga yang bermekaran di sekeliling tempat ini membuatku takjud akan keindahannya.
            “Ingat gadis kecil, kau tak boleh menyentuh apapun yang ada disini,” bisik si Peri Roshlyn kepadaku.
            “Mengap...,” belum sempat aku melanjutkan perkataanku, seketika peri Roshlyn hilang dari pandanganku. Entah kenapa, semua orang yang kutemui selalu menghilang begitu saja. Menyebalkan, gerutuku.
            “Ah, si Peri Roshlyn sama saja seperti Ricko yang selalu menghilang dan meninggalkanku begitu saja. Sungguh aneh,” ujarku pada diriku sendiri.
            Seketika, perkataan terakhir dari Peri Roshlyn selalu merutuki pikiranku. Aku semakin bingung. Bagaimana bisa tempat seindah ini tak boleh disentuh oleh siapapun? Kalau begitu, apa aku tak bisa menikmatinya? Lalu, apa gunanya tempat ini diciptakan jika tak boleh dinikmati?, pikirku. Ah, mungkin si Peri Roshlyn membohongiku, dia kan sama saja seperti Ricko. Karna rasa penasaranku yang tak tertahan lagi, akhirnya aku memutuskan untuk mendekati air terjun tersebut.
Aku mengerutkan dahi setelah melihat batu berwarna merah menyala di dalam air. Karena penasaran, perlahan aku mulai mengambilnya. Tak disangka, gerombolan serigala berbulu hitam dan bermata merah seketika muncul dari permukaan air. Aku melangkah mundur berusaha menjauhi segerombolan serigala tersebut. Sejenak aku menelan salivaku ketika seekor serigala yang bertubuh paling besar menatapku tajam. Andai aku menuruti perkataan Peri Roshlyn tadi, gerutuku serba salah.
“Wahai gadis kecil, berani-beraninya kau datang kemari!!,” ujar Serigala bertubuh besar.
“Sepertinya dagingnya sangat lezat, tuan,” ujar Serigala bertubuh kurus.
“Sayangnya, dia sangat kecil dan tak membuat kita kenyang,” ujar Serigala berbulu hitam kecoklatan.
“Mau apa kalian?,” ujarku menunjukkan sedikit keberanianku.
Tanpa menjawab pertanyaanku, gerombolan serigala bermata merah tadi mulai mendekatiku. Sejenak aku melangkah mundur dengan mulut yang berkomat-kamit memanjatkan doa. Ya Tuhan, tolong selamatkan nyawaku, doaku dalam hati. Tiba-tiba, dengan secepat kilat ada yang menarikku dan membawaku terbang. Kagetnya aku, ketika melihat siapa orang yang menyelamatkanku. Ricko, lirihku dalam hati. Disaat yang bersamaan, tiba-tiba aku dihempaskan begitu saja.
“Aaaaaaa....”
“Thalia, thalia. Kamu sudah sadar? Coba buka matamu, sayang,”
“Aku kenapa, aku dimana?,” tanyaku seraya memegang keningku yang terbalut rapi dengan perban.
“Kamu mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan kamu koma selama tiga bulan. Nyawamu hampir saja melayang, nak. Sekarang kamu masih ada di rumah sakit,” ujar yang kuketahui itu adalah Mama. Aku hanya diam tak bergeming.
“Tiga bulan? Tapi kenapa seolah-olah aku bermimpi hanya sehari? Dan Ricko? Ah, aku ingat betul lelaki itu. Jadi, apa semua hanya mimpi? Kenapa rasanya nyata sekali?,” sejuta tanda tanya merutuki otakku. Kini, aku sangat bingung. Semua yang terjadi di dalam mimpiku itu sangat aneh.  


-Wnd
           


Comments

  1. Hai, aku pemilik blog akihabaranime.blogspot.com yang kamu kunjungi beberapa waktu lalu.

    Cerpennya bagus, terus ditingkatin ya apalagi soal EBI nya :)

    Semangat! Salam literasi!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perihal Pena - Pertemuan

Cerpen Millenial - Pesan Terakhir Kakek