Perihal Pena - Pertemuan
Pertemuan
Aku benci dengan pertemuan itu. Dimana dua belah pihak bertamu dengan hadirnya waktu yang bergulir maju. Pertemuan tanpa wacana itu, seakan menampar dengan nyata. Pertemuan yang membuatku kembali di titik terendah, hingga kepedihan ini semakin tak terarah. Pertemuan yang berhilir, tapi sama sekali tak bisa ditafsir.
Sebagaimana prosa bernada hampa, itulah kenyataannya. Ah, aku tak mungkin melupakannya. Karena begitu banyak cerita yang membingkai sempurna di tengah keadaan yang tak lagi sama. Layaknya awal sebuah kisah pahit yang tercipta tanpa bait, hal ini tentu saja membuat sakit.
Luka yang sama, tertancap begitu tega. Begitu banyak yang kau patahkan, hingga kepayahan ini berbuah menjadi rintihan. Begitu banyak harapan yang kau campakkan, hingga membuat perasaan ini semakin bimbang. Hingga membuatku tak tau arah jalan pulang.
Ah, aku tak mengerti. Andai pertemuan itu tak terjadi, kisah kita takkan serumit ini. Terlalu menjanjikan memang. Tapi kenapa janji itu seolah kau hantam dengan liurmu sendiri?
Benar, nyatanya. Mulut lelaki memang tak bisa dicerna hati. Manis, tapi begitu miris jika akhirnya aku sendiri yang akan terhipnotis. Aku benci mengenalmu di pertemuan itu, membuat rasa penyesalanku terus menghujamku.
Ah, sudahlah. Bukan ingin menyerah ataupun pasrah. Hanya saja benakku berkata, jikalau mengeluh saja tak ada artinya. Semua sudah terjadi, dan aku tak bisa memulainya lagi.
Pantaslah ini menjadi pelajaran baru bagiku. Seolah menyuruhku menutup pintu. Lalu membukanya lagi untuk orang yang bisa mengetuknya dulu. Bukan masuk seenaknya, lalu pergi dengan perasaan tak terobati.
-Wnd
Comments
Post a Comment