Cerpen Millenial - Pesan Terakhir Kakek
PESAN TERAKHIR KAKEK
Deru riang rintikan hujan seakan terjun
bebas menghantam permukaan bumi. Bercucuran rapi menembus udara dingin malam
ini, mencurahkan sebuah melodi diiringi orkestra katak yang bersahutan disana
sini. Kulirik jam dinding mungil di sudut kamarku. Jarum jam menunjukkan pukul
tujuh. Aku menggeliat, merenggangkan otot-ototku yang kaku laksana batang bambu
yang telah lama tak terpoles air. Kuletakkan pena yang sedari tadi kugunakan.
Lalu, kututup buku tebal bertuliskan “sastra” dihadapanku yang selama ini
menjadi panutanku. Sedikit ku tatap kembali apa yang telah kutorehkan pada
secarik kertas putih yang sedari tadi ku otak-atik. Aku tersenyum sekilas
melihat hasil karanganku.
Aku beranjak
keluar kamar, berniat mengambil minuman hangat untuk sekedar mengurangi hawa
dingin malam ini. Ku lihat kakek yang masih setia dengan koran dan secangkir
kopi andalannya. Sadar akan suara langkahku, kakek pun memanggilku.
“Tumben jam segini cucu kakek sudah
keluar kamar, sudah selesai belajarnya?,” tanya kakek seraya meletakkan koran
tersebut di pangkuannya. Beralih meneguk kopi yang telah dingin dimakan hawa
malam ini.
“Belum, kek. Tinggal belajar untuk tryout
besok,” Aku pun menghampiri kakek dan duduk di sofa sambari menyeruput cokelat
hangat kesukaanku.
“Oh.. Inget, jangan nyontek. Gak baik,” ujar kakek lembut.
“Siap, kek,” Aku menatap kakek yang
terlihat sangat serius dengan koran dipangkuannya itu. Karna penasaran, aku pun
bertanya, “Kakek lagi baca berita apa sih, kok keliatan serius banget?,”
Kakek pun menghentikan aktivitasnya
sembari menghela napas sejenak,“Ini lho, kakek lagi baca berita yang baru-baru
ini telah menggemparkan media sekaligus ramai di koran,” Perkataan kakek lantas
membuatku penasaran, “Apa itu, kek?,” tanyaku.
“Generasi millenial, cu,” jawab kakek
singkat. Aku hanya ber-oh ria sembari menyeruput kenikmatan coklat hangat buatan
bi Sumi ini. Kakek pun kembali mengangkat suara, berusaha memecah keheningan
malam diringi gerimis hujan yang mulai reda.
“Generasi millenial saat ini berada dalam
posisi yang menghawatirkan. Berbagai ancaman dan hasutan yang menggiurkan telah
merusak moral mereka. Apalagi,
generasi sekarang semakin gencar meniru budaya luar negatif, buta sejarah dan
selalu melakukan hal hal bodoh, bahkan yang lebih parahnya lagi tak sedikit
yang tak hafal pancasila. Entahlah, bagaimana cara menyadarkan mereka,” ujar
kakek seraya menatap lurus ke arah luar jendela dengan tampang lesu.
Seakan-akan ada kekhawatiran yang mendalam pada diri kakek.
Aku pun
menyuarakan pendapatku, “Faktanya, lebih banyak orang bodoh saat merdeka
ketimbang saat masih dijajah, ya kek? Apakah mungkin karena pemuda sekarang
terlena akan kenikmatan? atau karena buta akan sejarah? Menyedihkan sekali
generasi bangsa ini, kek,”
“Untuk itu,
kamu harus bisa menjadi geneasi milenial yang bermoral, berkarakter, dan mampu
mengharumkan nama negeri di mata dunia. Jangan habiskan masa mudamu dengan
hal-hal berbau negatif yang tak bermanfaat sama sekali. Hal yang paling penting,
jangan sampai terjerumus oleh ajakan yang tidak baik,”
“Baik, kek,” jawabku singkat.
Kakek pun
kembali melanjutkan pembicaraanya, “Dulu, begitu kejamnya Belanda dan Jepang
menguras negeri ini, bukan hanya sumber daya alamnya saja yang tersakiti, tapi
kita orang Indonesia hampir semuanya tak bisa berbuat apa apa,” tutur Kakek,
kemudian ia menaikan celana hitam lusuhnya, ia nampak menunjukan sesuatu. “Ini
adalah bekas tembakan di kaki Kakek, luka ini Kakek dapat setelah menyergap
markas musuh, kita kalah saat itu dan Kakek yang tertembak akhirnya ditangkap
lalu dijebloskan sebagai tahanan. Di dalam penjara sungguh menderitanya kadaan
Kakek, Kakek dipukul dengan ujung senapan, diintimidiasi dan disiksa. Walaupun
begitu, leher dan kepala Kakek tetap tegak, tidak pernah tertunduk, rasa takut
Kakek dikalahkan oleh kekuatan untuk memerdekakan negara ini, sebab dengan
perasaan itulah merdeka bukan hanya sebuah mimpi” Air mataku menetes seketika,
namun cepat-cepat kuseka dengan jemariku,
Terlintas
dalam pikiranku, begitu perih perjuangan para pejuang dahulu demi kemerdekaan
yang mereka impikan. Tapi sekarang, setelah kemerdekaan ditangan pemuda, mereka
malah berfoya-foya dan saling saing demi mendapat tahta. Sungguh kejam. Apalagi,
tak sedikit generasi millenial sekarang yang gugur akan kewajibannya. Mereka
lebih suka mengikuti perkembangan zaman tanpa memperdulikan resikonya. Apalagi,
perkembangan teknologi sekarang ini membuat mereka tegila-gila dengan
kecanggihannya. Seperti halnya teman-temanku, mereka semua hampir memiliki
handphone layar sentuh yang mahal dan canggih. Apa daya diriku yang hanya
memiliki sebuah handphone jadul yang masih menggunakan tombol. Namun, itu semua
tidaklah penting bagiku. Aku hanya fokus pada masa depanku untuk meraih cita-cita
dengan segenggam harapan pasti.
Keesokan harinya...
Mentari pagi mulai memancarkan
sinarnya. Kicauan burung beriringan menyuarakan melodi khasnya. Deraian angin
sepoi bertiup pelan, menerbangkan dedaunan kering yang berjatuhan. Kini,
suasana di ruang kelas terasa tenang dan sunyi. Tampak wajah-wajah ketegangan
yang terpancar dari siswa-siswi sembari menatap layar komputer berisi puluhan
soal di hadapan mereka. Ya, kami siap untuk berperang. Tetapi, bukan perang
seperti zaman sejarah, melainkan perang fikiran dan konsentrasi demi
mendapatkan nilai terbaik sebagai seorang siswa.
Sesekali
bunyi pintu berdecit, mencoba untuk memecah keheningan. Tetapi, mereka asyik
tenggelam dalam fikiran masing-masing, begitupun denganku. Berulang kali
kutatap jam yang menempel pada dinding dan guru pengawas secara bergantian.
Mencari tahu berapa waktu yang tersisa.
“Jangan
menyontek ataupun bekerja sama. Jika diantara kalian ketahuan melakukan
kecurangan, maka nilai kalian ibu anggap nol. Mengerti?!,” ucap guru pengawas
mengingatkan. Semua terdiam, tanpa ada yang benari menyahut. Mereka memilih
sibuk mengerjakan soal ujian mereka.
Tak terasa,
pelaksanaan tryout telah usai. Seluruh siswa diperbolehkan keluar.
Sebagian besar dari mereka, ada yang menuju kantin, tapi adapula yang sekadar
nongkrong di taman. Aku menatap heran, padahal ujian sudah diambang mata,
tetapi mereka masih saja asyik menghabiskan waktu bersama gadgetnya. Ada
yang sibuk selfi, update status, bermain game, hingga berpacaran.
Sungguh, moral mereka begitu rendah menurutku.
Dengan langkah
pasti, kujalankan kakiku menuju
perpustakaan, untuk sekedar menyetorkan hasil karyaku untuk terbitan majalah
sekolah tahun ini. Ya, tahun ini merupakan tahun terakhir bagiku dalam
menyetorkan hasil karyaku yang terakhir kalinya. Untuk itu, kubuatkan yang
teristimewa semalaman. Setelah sampai di perpustakaan, ternyata aku teringat
sesuatu untuk meminjam beberapa buku, demi persiapan ujian. Memang,
sehari-hari, perpustakaan ini tampak sepi, bak gudang yang tersembunyi. Hanya
ada satu sampai dua orang siswa yang berkunjung kemari. Miris, memang.
Setelah semua buku
terpenuhi, aku melangkah keluar, berniat menuju balkon taman. Tiba-tiba,
seseorang menabrakku dengan sangat keras, hingga membuatku tersungkur. Refleks,
buku bawaan beserta kacamataku satu-satunya jatuh berserakan di koridor kelas.
“Ups, sory gue
sengaja,” ujar manusia tak berdosa itu. Siapa lagi, kalau bukan Angel dkk itu.
Cewek paling cantik dan sombong di SMA Taruna Bangsa.
“Kalo jalan tuh
pake mata dong,” ujarku tak terima dengan sikapnya.
“OMG!! Eh!,
dimana-mana kalo jalan tuh pake kaki, bukan pake mata. Dasar cewek cupu,”
teriaknya seraya menjambak rambutku kasar. Aku pun meraung kesakitan.
“Udahlah, ngel.
Ngapain sih ngurusin orang kudet kayak dia,” Mellanie, yang merupakan sahabat
Angel itu ikut menimpali.
“Tau tuh, hp nya
aja masih layar pencet. Jijik banget gue punya temen kayak dia. Yuk, cabut,”
ujar salah satu temannya lagi. Itulah hujatan dan hinaan yang biasa aku terima
setiap hari. Begitu perih rasanya, namun hal tersebut tak membuatku patah
semangat. Tujuanku bersekolah hanyalah untuk menuntut ilmu demi menyambung
hidup.
Setelah
membereskan buku beserta kacamata yang telah hancur lebur itu, aku bergegas
menuju taman belakang sekolah. Tempat yang dari dulu aku segani dikarenakan
suasananya yang cukup sepi dan nyaman. Tiba-tiba, seseorang memanggilku dari
belakang, kudapati Siska yang tengah berlari menghampiriku dengan napas
terengah-engah.
“Jasmine tunggu!,”
teriaknya
“Ada apa, Sis? Kok
tumben,” ujarku yang bingung mendapati Siska yang terlihat tak seperti
biasanya. “Eh, duduk dulu yuk,” ajakku yang peka dengan kondisi Siska yang
nampak kelelahan. Kami pun duduk di sebuah balkon yang jauh dari keramaian.
Siska pun mulai
membuka suara, “Apa bener, tadi Angel gangguin kamu lagi?,” Aku terdiam. “Emang
ya, tuh anak minta dikasih pelajaran,” ujar Siska sembari beranjak dari balkon,
namun aku berusaha mencegahnya.
“Kamu diapain aja?
Ada yang luka nggak?” ujar Siska dengan nada khawatir.
“Aku nggak papa
kok. Tapi, kacamata ku rusak lagi untuk kesekian kalinya. Aku gak mungkin minta
kakek untuk beli, pasti kakek marah besar jkalau mendengar kacamataku rusak
lagi,”
“Kamu yang sabar
ya. Aku yakin, pasti semua akan indah pada waktunya,” sambil mengelus pundakku
pelan
“Iya. Makasih ya, selama ini kamu selalu
pengertian sama aku dan selalu memotivasi aku,” Aku pun memeluk Siska dengan
erat. Ya Tuhan, aku sangat bersyukur masih bisa memiliki orang-orang baik yang
terus memotivasi aku. Semoga, mereka dapat menerima balasan yang setimpal
dengan perbuatan baiknya kepadaku selama ini, doaku dalam hati.
Tak terasa, hari demi hari terlewati.
Pelaksanaan UN pun sudah didepan mata. Ya, hari ini adalah penentuan bagi para
siswa mengenai nasib mereka nanti. Sebelum berangkat sekolah, aku terlebih dulu
berpamitan kepada kakek dan bi Sumi untuk meminta doa. Ya, hanya mereka berdualah
yang merawat dan membesarkanku selama ini. Tanpa mereka, aku pasti sudah
membusuk di jalanan. Kalian pasti bertanya-tanya dimana orang tuaku? Kedua
orang tuaku telah meninggal sepuluh tahun yang lalu, dikarenakan kecelakaan
hebat yang membuat mereka tak bisa diselamatkan. Untungnya, Tuhan masih
memberiku kesempatan untuk hidup. Jadi, bersyukurlah kalian yang masih memiliki
kedua orang tua, dan masih dapat merasakan kasih sayang mereka.
Pagi ini, sekolah sudah terlihat ramai.
Dengan langkah tegas, ku jalankan kakiku menyusuri koridor sekolah. Aku
mendengar beberapa geormbolan siswa merencanakan berlibur setelah melaksanakan
UN. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar diskusi dari beberapa siswa
tersebut. “Bukannya mikirin masa depan,
malah mikirin liburan,” gumamku dalam hati.
Tak terasa,
saat yang dinanti-nanti pun telah tiba, yaitu acara wisuda dan pelepasan siswa
kelas XIII. Dan pada hari ini pula, pengumuman nilai akan dilaksanakan. Mulutku
terus saja berkomat-kamit meminta doa agar aku diluluskan dengan nilai terbaik.
Itulah impianku sejak dulu. Tiba-tiba, aku lupa akan sesuatu hal. Kakek dan bi
Sumi tak datang? Aku tertunduk lesu menerima kondisiku yang menyedihkan ini.
Kuarahkan pandanganku ke setiap penjuru, namun tak kutemukan keberadaan kakek
disini. Padahal, semalam kakek telah berjanji padaku untuk datang hari ini.
Wajar, jikalau aku iri dengan teman-temanku yang menikmati momen ini dengan
balutan kasih sayang kedua orang tuanya. Setelah sekian lama, akhirnya tiba
pengumuman telah tiba.
“Para
hadirin sekalian, mari kita umumkan, siapa siwa berpresatsi yang akan meraih
nilai tertinggi di sekolah kita, tahun ini,” Seluruh peserta didalam gedung
aula ini tampak hening tak bersuara.
“Peraih
nilai tertinggi tahun ini adalah.... Jasmine Adelia Yunita, dari siswi kelas XIII
IPA dengan perolehan nilai 39,77!! Kepada ananda Jasmine, dipersilahkan menuju
keatas panggung,” Sontak aku langsung berlari menuju keatas panggung. Raut muka
yang tadinya pucat pasi, kini terlihat berseri-seri, seakan-akan beban yang
telah lama kupendam, kini hialng terbawa angin.
“Para hadirin, perlu anda
ketahui, Jasmine Adelia Yunita ini pernah menjuarai berbagai lomba yang
membanggakan. Untuk itu, kami selaku pihak sekolah memberikan beasiswa dan uang
sebesar 12 juta kepada ananda Jasmine sebagai balasan atas prestasinya,”. Sorak
sorai dan riuh tepuk tangan dari seluruh siswa menggema di ruang aula ini.
Sayangnya, kakek tak bisa melihat momen ini secara langsung.
Acara
pun telah usai, aku berniat ingin segera pulang ke rumah dan meberitahukan hal
ini kepada kakek. Tiba-tiba, ponselku berdering, mencantumkan sebuah nama di
layar ponselku. Tumben, bi Sumi menelponku, pikirku.
“Assalamualaikum
bi. Apa?!! Oke, Jasmine segera kesana sekarang,”
Tibalah
aku di rumah sakit. Bi Sumi memberitahukan bahwa kakek terserempet mobil ketika
hendak perjalanan ke acara wisudaku. Refleks, badanku lemas dan jantungku
berdegub tak beraturan. Ku lihat kakek terbaring lemas dengan napas
terengah-engah, diiringi sejumlah alat melekat ditubuhnya.
“Kek,
kakek kenapa? Lihat kek, Jasmine berhasil mendapat nilai tertinggi. Jasmine
berhasil mewujudkan impian kakek,”
“Alhamdulillah.
Selamat ya, cu. Saat ini, umur kakek sudah tak lama lagi. Ingat pesan kakek,
jangan lupa sholat, selalu bersyukur dan jangan takabur. Bangun negeri ini,
jadilah anak yang selalu membanggakan, ja-jadikan ne-negeri ini, ne-negri yang
ma-maj-maju---,” Itulah pesan kakek sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku dan bi Sumi hanya pasrah menerima kepergian kakek. Kini, aku hanya hidup
berdua bersama bi Sumi. Aku berniat melanjutkan kuliah di Amerika berkat
beasiswaku. Setelah menjelang beberapa hari, aku dan bi Sumi pun berangkat ke
Amerika. Disana, aku memulai kehidupan baruku dengan lingkungan baru pastinya.
Harapan terbesarku, setelah aku lulus kuliah dan kembali pulang ke Indonesia,
aku bisa memimpin negaraku menjadi negara yang berprestasi. Inilah kisahku,
menjadi seorang generasi millenial yang berakal dan bermoral, bukan generasi
yang malah merugikan negeri.
-Wnd
Comments
Post a Comment