Cerpen-Berawal dari Sebuah Kreativitas

Berawal dari Sebuah Kreativitas

Cahaya hangat mentari menyelinap masuk melewati celah - celah jendela rumah mungilku. Aku beranjak menuju teras, menikmati suasan pagi yang indah. Aku duduk disebuah kursi kayu berukiran motif bunga yang terlihat kuno nan klasik. Suasana yang tenang dan nyaman. Tiba tiba, aku terpaku pada sebuah album tua disampingku. Ku raih album itu dan ku buak halaman demi halaman yang sebagiannya telah usang dan kotor termakan usia. Aku menutup kembali album itu, bagaikan menutup memori ingatanku di masa lalu.

Aku beranjak, bergegas pergi ke sekolah dengan semangat baru. Aku berjalan menyusuri lapangan, sawah, ladang, dan jalanan desa yang sepi. Tak lupa, kusapa semua orang yang kukenali, mulai dari petani, peternak, hingga ibu ibu penjual sayur. Butuh waktu sekitar satu setengah jam untuk sampai diskolahku yang letaknya cukup jauh dari pedesaan. Memang, aku sangat beruntung bisa bersekolah bersama anak kota berkat beasiswa ku .

Disamping sekolah, aku juga bekerja membantu ibuku. Biasanya aku bekerja setelah sepulang sekolah hingga menjelang sore. Aku dan ibuku mempunya usaha anyaman rotandan bambu. Cukup banyak yang kami produksi mulai dari kursi anyaman, keranjang, kipas, tikar, hingga pernak pernik hiasan dinding. Semua itu berkat ibuku mengajarinya. Karena ibuku yakin, bahwa aku berbakat dalam hal kreativitas. Sedangkan ayahku adalah seorang tukang kayu. Beliau juga sangatpandai dalam hal mengukir bahkna memahat. Oke, cukup sampai disni cerita tentang keluargaku.

Sesampainya dikelas, aku meletakkan tasku dan duduk dibangku ku seraya mengistirahatkan kakiku yang amat pegal ini. Biasnya, aku menaiki dokar atau becak untuk berangkat sekolah, namun kali ini tidak. Kaena aku berusaha menghemat uangku selagi orangtuaku pergi ke kampung. Lalu, tiba tiba Mella datang dan mengejutkan ku.

“Gendhis !”

“ Ahh. Duh, kau ini mengagetkanku saja. Ada apa mell?,” tanyaku pada Mella.

“ Hehe.. Jadi gini ndhis, tadi Jery bilang, kalau bulan depan ada event fotografi tingkat provinsi. Nah, setelah dirundingkan bersama pembimbing beserta pengurus Jurnalis inti, mereka memutuskan bahwa kamulah yang mewakili sekolahkita. Gimana?,” jelas Mella panjang lebar.

“Lahh..kenapa harus aku? Masih ada Jery dan Ghea. Kau tau kan jika mereka yang banyak  mengikuti event, dan mereka lebih mahir fotografi daripada dirikuini,” ujarku tak terima.

“ Ya,ya,ya.. tapi Gendhis, hasil jepretan fotomuitu lebih bagus daripada mereka berdua. Memang, mereka lebih banyak mengikuti event, tapi hasilnya? Pernah mereka juara?”, ejek Mella.

“Ssstt.. Gak boleh gitu ah,” ujarku memepringatkan.

“ Udah ya, pokoknya kamu harus bersedia. Sebenernya sih, Jery yang pertama kali ditunjuk. Tapi karna Jery harus pindah sekolah minggu depan, jadinya kita harus cari pengganti yang tepat. Dan Jery nggak salah pilih kamu, ndhis,”

“Tapi kan...”

“Udahlah, pokoknya kamu harus mau. Titik,” ujar Mela seraya pergi meninggalkanku yang masih terlihat bingung. Pelajaran pun dimulai. Kali ini, aku tak bisa konsentrasi dengan pelajaran. Pikiranku terus digelayuti oleh kata – kata Mella tadi pagi. Bukannya tak mau, tapi aku takut jika nanti aku malah mengecewakan mereka semua. Memang, aku pecinta fotografi. Namun itu hanya berlaku disekolah, karna orang tuaku tak mampumembelikanku kamera. Jika dirumah, aku biasanya hanya bisa mengabadikan foto dengan cara digambar atau semacamnya.

Kringgg.. Bel berdentang tiga kali. Itu tandanya pelajaran telah usai. Aku beranjak pergi dengan tampang lesu. Namun, Mella dan Chaca menahanku.

“Gendhis!” Ujar Mella dan Chaca bersamaan.

“Apa?”

“Anggota Jurnalis kumpul sekarang,” ujar Mella tanpa basa-basi.

“Kayaknya aku nggak bisa kumpul kali ini. Kau saja ya?” ujarku menolak.

“Oh, ayolah gendhis, kali ini saja. Lagian, kamu gak pernah nolak selama ini,” kata Chaca memohon. Tanpa menunggu jawaban dariku. Mella dan Chaca secara spontan menarikku dan mengajakku pergi ke Lab Jurnalistik. Disana para jurnalis kumpul. Disana sudah ada Jery, Ghea, Vino, dan juga Leo.

Setelah cukup lama berbincang-bincang mengenai pembaruan mading bulan ini, kami pun beranjak pulang. Tapi,ada yang membuatku merasa janggal, semenjak aku berada disana, Ghea menatapku dengan tatapan tidak suka. Tiba-tiba suara Ghea membuyarkan lamunanku.

“Eh Ghea! Dasar Anak Desa! Mentang-mentang lo yang mewakili sekolah kali ini, bisa bertindak seenaknya saja. Inget1 jadi anak itu jangan belagu. Tau diri dong! Lo itu cuman anak desa! “, teriak Ghea yang sudah tak bisa menahan emosinya. Aku hanya bungkam. Diam. Berusaha mancerna kata-kata Ghea. Aku merasa harga diriku telah jatuh. Mella dan Ghea yang melihat adegan ini, berusaha menenangkanku. Sedangkan siswa siswa lain yang kebetulan lewat hanya berbisik-bisik tak jelas. Aku merasa terhina sekaligus malu. Secara spontan, aku berlari sekuat tenaga dengan air mata yang terus mengalir deras di pipiku. Karna tak fokus melihat ke depan, dalam tak sengaja menabrak seorang wanita yang sedang membawa kamera. Aku berusaha meminta maaf seraya menyeka air mataku. Bukannya menjawab maafku, wanita itu malah menanyaiku.

“Kamu kenapa?” tanyanya kepadaku “aku hanya diam. Aku tak tau harus menjawab apa.

“Baiklah, aku antar kamu pulang ya”, ajaknya. Wanita itu sangat baik dan ramah. Selama diperjalanan, aku menceritakan semua yang telah terjadi. Ia hanya mengangguk paham mendengar curhatanku. Sesekali ia menasehatiku dan menenangkanku.

“Kamu tak salah. Namun, kau hanya kurang percaya diri terhadap kemampuanku. Jika boleh, aku bisa mengajarimu teknik fotografi. Aku yakin kamu bakat dengan hal itu”, jelasnya. Aku mengangguk paham dan tersenyum tipis ke arahnya. Kata-katanya begitu menginspirasi . aku senang bisa mencurahkansemua isi hatiku.

Ia adalah pendengar setia bagiku. Setelah cukup lama kamin berbincang, akhirnya aku cukup mengenalnya. Ternyata, ia adalah seorang Jurnalis yang kebetulan  sedang mencari berita tentang karya anak-anak desa. Ia bernama Verocha Aulina. Aku akrab memanggilnya kak Ocha. Kami pun saling bertukar cerita pengalaman. Sesekali kami tertawa bersama. Ternyata, kak Ocha ini bernasib sama seperti diriku. Ia juga seorang gadis desa dulu, yang kini telah sukses berkat kerja kerasnya. Aku juga menceritakan semua pengalamanku tentang hasil-hasil karya menganyamku. Dan ia tertarik untuk meliput dan mewawancarai. Aku pun bersedia dengan senang hati

Hari mulai menjelang sore. Kak Oca pun berpamitan untuk pulang. Aklu memberikannya sebuah anyaman hiasan dinding sebagai permintaan maafku tadi siang. Ia menerimanya dengan senang hati. Sebagai balasannya, ia ingin mengajari teknik fotografi kepadaku selama sebulan. Aku senang bukan kepalang. Semenjak saat itu, kami berteman dengan baik. Ia selalu melatihku sepulang sekolah. Bersamaan dengan itu, orang tuaku pulang dan aku segera menceritakan semuanya. Mereka terlihat bangga dan berkali kali mengucapkan syukur kepada tuhan. 

Satu bulan berlalu tak terasa. Tiba pada akhirnya berlomba. Dengan didampingi kak Oca, Ghea, ibu dan ayahnya beserta pak Haris sebagai pembimbing. Aku mengikuti event itu dengan sangat baik. Alhasil, aku ,mendapatkan juara satu sebagai balasan atas kerja kerasku. Aku telah berhasil membawa nama baik sekolah dan juga kota Jakarta. Aku senang sekaligus bangga atas pencapaianku. Aku pun berterima kasih kepada Kak Oca dan pak Haris yang telah membimbingku selama 1 bulan. Sebagai balasanya , aku memberikan medali itu kepada kak Oca, dan menyumbangkan piala kejuaraanku kepihak sekolah. Sedangkan aku mendapat piagam beserta beasiswa pendidikan. Aku melirik Ghea. Ia terlihat murung dan amat bersalah. Aku mendekatinya. Ia pun spontan memelukku dan aku membalas pelukanya. Ia menangis terseduh seduh dan mengucapkan kata maaf  kepadaku. Aku berusaha menenangkannya dan beranjak pergi karena aku harus pulang.

Kami pun pulalng. Alangkah terkejutnya kami, karna melihat rumah kami yang ramai dengan ruang berjas hitam beserta mobil yang terparkir rapi di depan rumah kami.

“Maaf, pak. Ini ada apa ya? Kok ramai ramai datang kerumah kami” , kata ayah dengan sopan.  “Oh jadi gini, apa betul bapak adalah pemilik rumah sekaligus pemilik hasil karya ini?”

“Betul pak memangnya kenapa?”

“Jadi, kami telah melihat hasil karya anak ini beserta keluarga sekalian yang terpajang di Koran. Dan kami tertarik dengan karya bapak beserta keluarga. Dan kami ingin membelinya untuk dipamerkan diacara “Wonderfull indonesia” nanti di Rusia. Apa 50 juta cukup? “, Tanya bapak bapak berjas itu. 


-Wnd




Comments

Popular posts from this blog

Cerpen - Dibawah Naungan Ilusi

Perihal Pena - Pertemuan

Cerpen Millenial - Pesan Terakhir Kakek