Cerpen Kemerdekaan-Merdeka Kita Bersatu

MERDEKA KITA BERSATU

“17 Agustus tahun 45 itulah hari kemerdekaan kita. Hari Merdekaa. Nusa dan bangsa. Hari lahirnya bangsa Indonesia...” Sayup-sayup terdengar lagu Hari Merdeka dari sebuah gedung di belakang rumah mungliku. Gedung yang selama ini sangat kuimpikan untuk bisa menjajakkan kaki disana. Tapi rasanya.., mustahil. Andai saja pendidikan di kota ini bisa digratiskan untuk orang-orang tak mampu sepertiku. Pasti sekarang aku sudah berada disana bersama anak-anak kota seumuranku. Tiba-tiba, Lulu datang menghampiriku.

“Ada apa lu?,” tanyaku dengan wajah sendu.

“Rel, tau nggak kalo hari ini adalah perayaan hari kemerdekaan negara kita?,” ujarnya antusias.

“Tau, emang kenapa? Toh selama ini kita juga gak pernah ikut merayakan, kan?,” ujarnya dengan wajah kesal.

“Eits, makanya aku kesini mau ngajak kamu ke gerbang sekolah di belakang rumahmu. Siapa tau, kita bisa ikut upacara bersama mereka,”

“Upacara? Kita ngintip lewat gerbangnya aja diusir-usir sama pak satpam. Apalagi mau ikut upacara di lapangan yang megah dan luas itu? Jangan ngaco kamu, lu,”

“Ya kita coba dulu, ayok cepet,” ujarnya seraya berlari menyeretku. Sedangkan aku yang berada di belakangnya berusaha memperingatkan Lulu yang sama sekali tak digubris olehnya. Akhirnya aku terpaksa menurut. Tak lama, kami pun sampai di depan gerbang sekolah yang tingginya bak gerbang istana negara.

“Tuh liat. Gak ada satpam, kan? Ayo masuk,” Lulu dengan pedenya membuka gerbang dan segera masuk ke dalam sekolah yang kuimpikan selama ini.

“Eh,liat tuh ada anak nyasar di sekolah kita,” ujar seseorang dengan tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Farel dan Lulu hanya mematung menahan malu.

“Hei, siapa kalian? Ayo sini, ikut kami berlomba untuk merayakan hari kemerdekaan negera kita!,” ujar seorang anak perempuan yang setahuku seumuran denganku. Seraya menarik tanganku menuju lapangan sekolah yang ramai oleh siswa-siswi disana. Aku takjub melihat dekorasi bernuansa merah putih di tempat ini, lengkap dengan perlengkapan lomba.

“Haha… Anak jalanan mau tanding lomba sama anak orang kaya? Gak level kalii…,” ujar seorang anak berambut gondrong dengan angkuhnya.

“Pasti kalah dia. Ya nggak?,” kata anak bertubuh tinggi di sebelahnya.

“Heh, kalian jangan meremehkan kita ya? Buktiin kalo kalian bisa,” ujarku yang tak tahan dengan cemohan mereka.

“Ayo! Siapa takut!,” ujar seorang anak berambut gondrong tadi.

Akhirnya, mereka pun mulai bertanding. Kali ini, lomba yang akan mereka tandingkan adalah lomba balap karung. Disambut sorak-sorai dari para siswa menggema di lapangan. Kebanyakan dari mereka yang mendukung anak berambut gondrong tersebut. Tak lama, peluit dibunyikan.

“Prittttt…..”
Aku dengan secepat kilat melesat menuju ke garis finish. Dengan bermandi keringat di sekujur tubuhku, aku  melampiaskan amarahku. Aku berusaha untuk membuktikan kepada mereka bahwa aku mampu. Meskipun hanya seorang anak jalanan, tapi aku tak bisa di remehkan seperti itu. Harga diriku tak serendah yang mereka bayangkan. Aku akan membuktikan, bahwa kita sama. Sama-sama generasi muda yang dilahirkan di tanah air Indonesia.

Selangkah lagi menuju garis finis, gumamku. Tiba-tiba, aku berhenti. Hatiku tergerak mencari seseorang. Seseorang yang meremehkanku tadi. Dimana dia?, pikirku. Aku menoleh ke belakang, ternyata di tepat di belakangku. Jatuh tersungkur dengan berlumuran darah di dahi dan sikutnya. Aku menghentikan perlombaan, bergegas menolongnya yang tengah kesakitan, membopongnya ke pinggir lapangan. Bergegas aku mengulurkan sebotol air mineral kepadanya. Petugas PMR pun datang dengan membawa kotak P3K lengkap beserta perban dan sebagainya.

“Seharusnya, kau tidak menolongku. Aku tak pantas menerima bantuanmu. Aku pantas menerima semua ini. Pergilah. Tak usah kau pedulikan aku,”

“Kau tak boleh berkata seperti itu, kita sesama teman harus saling tolong-menolong,”

“Aku malu. Maaf telah merendahkanmu. Aku sadar, bahwa kita sejajar, kita sederajat, kita sama. Maaf sekali lagi,”

“Kau tidak boleh berbicara seperti itu, aku sudah memaafkanmu. aku senang, kini kau telah menyadari perbuatanmu,”

“Aku janji, mulai saat ini aku akan menjadi anak yang baik,”
Akhirnya, kami pun berteman baik. Tak ada perbedaan diantara kita. Di hari kemerdekaan ini, telah membuhakan pertemanan yang begitu bermakna. Selamat Hari Kemerdekaan yang ke-74!


Comments

Popular posts from this blog

Cerpen - Dibawah Naungan Ilusi

Perihal Pena - Pertemuan

Cerpen Millenial - Pesan Terakhir Kakek