Cerpen Singkat-Buah dari Kecerobohan
Buah dari Kecerobohan
Mentari pagi mulai memancarkan sinarnya. Kicauan burung beriringan menyuarakan melodi khasnya. Deraian angin sepoi bertiup pelan, menerbangkan dedaunan kering yang berjatuhan. Kini, suasana di ruang kelas terasa tenang dan sunyi. Tampak wajah-wajah ketegangan yang terpancar dari siswa-siswi sembari menatap lembaran berisi puluhan soal di hadapan mereka. Ya, kami siap untuk berperang. Tetapi, bukan perang seperti zaman sejarah, melainkan perang fikiran dan konsentrasi demi mendapatkan nilai terbaik sebagai seorang siswa.
Sesekali bunyi pintu berdecit, mencoba untuk memecah keheningan. Tetapi, mereka asyik tenggelam dalam fikiran masing-masing, begitupun denganku. Berulang kali kutatap jam yang menempel pada dinding dan guru pengawas secara bergantian. Mencari tahu berapa waktu yang tersisa.
“Jangan menyontek ataupun bekerja sama. Jika diantara kalian ketahuan melakukan kecurangan, maka nilai kalian ibu anggap nol. Mengerti?!,” ucap guru pengawas mengingatkan. Semua terdiam, tanpa ada yang benari menyahut. Mereka memilih sibuk mengerjakan soal ujian Bahasa Indonesia kali ini.
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, setengah jam telah terlewati. Tiba-tiba salah seorang temanku memanggilku seraya berbisik. Beni namanya. Ia adalah murid yang cukup pintar dengan sifat agak menyebalkan.
"Ren, nomor dua puluh empat apa?," Tanyanya was-was.
Aku melirik lembar jawabanku dengan ragu. Perasaanku bimbang. Terbesit dalam benakku untuk sesekali mencontekinya. Toh, apa salahnya membantu teman, pikirku. Aku pun menjawabnya dengan rasa tak berdosa sedikitpun. Aku sama sekali tak memikirkan resiko apa yang akan menimpaku setelah kejadian ini. Tak hanya Beni, Gilang yang melihat hal tersebut lantas memanfaatkan kesempatan. Aku yang tak enak hati menolaknya pun lantas mengiyakan. Untungnya, kegiatan kami tak mengundang rasa curiga si pengawas sedikitpun dan semua berjalan lancar.
Tak terasa, hari pertama pelaksanaan penilaian akhir semester telah terlewati. Hari demi hari berjalan begitu cepat. Tibalah saatnya waktu perbaikan nilai. Aku yang dengan santainya tak merasa khawatir. Toh, ujian yang kujalani lancar-lancar saja, dan aku tak mengalami kesulitan sedikitpun, karena aku sudah mempersiapkan semua dari awal.
Tiba-tiba, guru mapel Bahasa Indonesia datang ke kelasku. Seluruh temanku tampak cemas dengan hasil ujian mereka.
"Sekarang, saya akan mengumumkan dua orang siswa yang harus melakukan perbaikan nilai. Dua orang tersebut adalah...," ujarnya seraya menghela napas sejenak.
"Ananda Rena dan Riko Prasetyo. Untuk kalian berdua, silahkan menemui saya untuk melakukan perbaikan nilai," ujarnya lantas membuat seluruh penghuni kelas bersorak ria kecuali aku dan salah seorang temanku yang terkena perbaikan nilai.
Degg...
Sungguh, aku tak percaya akan hal ini. Bagaimana bisa? Padahal, aku tidak merasa kesulitan dalam mengerjakan soal waktu itu. Aku juga sudah belajar keras sebelum melaksanakan ujian. Apa ini hukuman bagiku karena telah memberi contekan pada Beni dan Gilang waktu itu? Sungguh, aku sangat menyesal karena telah menconteki temanku. Kini aku malu, aku sangat menyesal. Aku telah terjerumus akan kecerobohanku sendiri. Awalnya, aku hanya berniat baik. Tapi inilah resikonya. Tuhan telah membalikkan semua fakta.
Keesokan harinya, pak Amir, guru mapel agama kami mulai mengumumkan beberapa anak yang harus memperbaiki nilai. Beliau mulai menuliskan beberapa nama disana. Kulihat dengan jelas nama Beni dan Gilang tertera di papan tersebut. Seketika hatiku sedikit lega. Tuhan memang adil. Tuhan tidak hanya menghukumku, akan tetapi juga menghukum kedua temanku. Aku mendapat banyak pelajaran dari kejadian ini yang nantinya akan kuingat sampai kapanpun. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi mencontek ataupun memberi contekan kepada siapapun.
-Wnd
Comments
Post a Comment